cerpen

cerpen

Harapan dan Kesabaran
Oleh : Andri Ega N. (X-6).


Hidupku bahagia.
Setiap hariku, aku merasa bahagia. Semua yang kulakukan penuh dengan suka cita karena hadirnya seorang permata hatiku. Dia yang memberiku inspirasi, dia juga yang selalu menyemangati diriku.
Tapi itu dulu, setelah dia meninggalkanku karena dijodohkan oleh orang tuanya.
Semenjak saat itu, aku merasa hidupku hancur. Aku merasa hidupku tak berguna lagi. Sempat pula terlintas dibenakku untuk bunuh diri, mengakhiri hidup ini. Tapi, aku hanya bisa pasrah pada takdir Tuhan yang diberikan padaku.
Hari demi hari hidupku ku jalani dengan sendiri. Sebagai seorang perantau, aku hanya sendiri di kota metropolitan ini. Aku tidak mempunyai seorang pun saudara. Orang tuaku sudah tiada.
Hidupku memang penuh dengan harta, kemewahan. Rumah mewah, mobil mewah, gaji yang besar, aku pun mempunyai usaha sendiri. Apa yang aku mau bisa aku beli dengan hartaku yang melimpah ini.
Tapi, apalah arti hidup ini tanpanya. Dia yang dulu selalu menemani hariku, kini hilang sudah.
Bertahun-tahun aku menjalani hidup seperti ini. Banyak wanita yang hadir dalam hidupku, tapi tak seorang pun yang dapat menggantikan posisinya dihatiku.
Walaupun begitu, aku selalu berharap dia tidak melupakan diriku walau dia sudah jadi milik orang lain.





Hari ini, tepat sepuluh tahun aku tak pernah lagi bertemu dan berkomunikasi dengannya. Sampai detik ini pun aku masih berharap masih ada sedikit cinta dihatinya untukku, walaupun aku tahu, mungkin itu hanya harapan yang sia-sia.
Untuk menghabiskan hari liburanku, aku berencana untuk pergi ke sebuah restorant, tempat dimana aku dahulu sering pergi untuk makan malam bersama dengannya. Bahkan, aku menyatakan rasa cintaku padanya disini, di restorant yang penuh kenangan bagiku ini. Teringat kembali olehku kenangan masa lalu. “Siapa wanita yang duduk di meja sebelah sana?” gumamku dalam hati. Seorang wanita berkerudung yang duduk membelakangi aku, yang sangat aku kenal persis siapa dirinya. Ya, dia adalah mantan pacarku dahulu. Muncul sedikit harapan dihatiku.
Kuhampiri tempat duduknya, ketika dia melihat diriku, dia tampak sangat terkejut. Mimik mukanya menggambarkan betapa kaget dirinya melihat diriku, “A,,Alan?” ucapnya sedikit terbata-bata, “Afifa?”.
Kami berdua hanya bisa saling bertatapan. Setelah beberapa saat, aku beranjak dari posisiku. Kami berdua mengobrol menceritakan kisah hidup kami masing-masing. Ternyata, pernikahan dirinya dengan pria jodohan orang tuanya tidak bertahan lama. Sudah 6 tahun ini dia menjanda. Dia menceritakan kisah hidupnya padaku, dia bercerai karena kekerasan yang suka dilakukan oleh suaminya, serta dia pun mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Aku pun menceritakan kisah hidupku, yang selama 10 tahun ini hidup terasa sangat hampa tanpa dirinya.
Sejak pertemuan itu, hidupku kembali ceria. Aku bersemangat kembali menjalani hidup ini.
Memang benar kata orang tua dahulu, jodoh tidak akan kemana, aku dengannya bahkan sudah merencanakan menikah dan membuka lembaran hidup yang baru.






Aku tersadar dari lamunanku, ketika anakku yang ketiga mengajakku untuk makan siang. Ya, aku baru tersadar dari lamunan hidupku 25 tahun yang lalu.


Tangerang, 15 Mei 2009.